SUMBER HUKUM ISLAM AL QUR'AN
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA
Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut bahasa ialah
bacaan atau yang dibaca. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril, dalam bahasa Arab,
tertulis dalam mushhaf, diawali dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah
an-Nas. Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diriwayatkan secara Mutawatir, baik
secara tulisan maupun lisan, dari generasi ke generasi, dan tetap terpelihara
dari perubahan dan pegangan apapun, serta membaca Al-Qur’an merupakan bagian
dari ibadah.
“Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15] : 9)
Keistimewaan Al-Qur’an
Di antara keistimewaan Al-Qur’an
adalah bahwa lafadzhnya dan maknanya berasal dari Allah. Lafazh Al-Qur’an yang
berbahasa Arab itulah yang diturunkan oleh Allah ke dalam hati Rasul-Nya.
Sedangkan Rasul tidak lain hanyalah membacakannya dan menyampaikannya. Dari
keistimewaan itulah, maka 3 hal berikut ini bukan termasuk al-Qur’an, antara
lain :
1.
Makna-makna
yang diilhamkan Allah kepada Rasul-Nya, namun lafazh-lafazhnya tidak Dia
turunkan kepadanya, tetapi Rasul sendiri yang mengungkapkan dengan lafazhnya
terhadap sesuatu yang diilhamkan kepadanya. Yang demikian itu tidaklah termasuk
Al-Qur’an, itu adalah Hadits Qudsi, yang ketika membacanya tidak dianggap
sebagai ibadah.
2.
Tafsir ayat
atau surat al-Qur’an yang menggunakan bahasa Arab sebagai muradif (sinonim)
dari lafazhnya. Sebab sebagaimana diketahui bahwa lafazh al-Qur’an itu
bahasanya adalah bahasa Arab yang khusus datangnya dari Allah.
3.
Terjemahan ayat
atau surat al-Qur’an dalam bahasa asing, biarpun terjemahnya sangat fasih lagi
memadai.
Keistimewaan al-Qur’an yang lain ialah bahwa al-Qur’an itu sampai
kepada kita secara mutawatir, yakni dengan cara penyampaian yang menimbulkan
keyakinan tentang kebenarannya, karena disampaikan oleh sekian banyak orang
yang mustahil mereka itu bersepakat untuk berbohong.
Kehujjahan Al-Qur’an
Dalil bahwa Al-Qur’an adalah hujjah
atas ummat manusia dan hukum-hukumnya merupakan undang-undang yang wajib mereka
ikuti, adalah : bahwa Al-Qur’an dari sisi Allah dan disampaikan kepada mereka
dari Allah melalui cara yang pasti (qath’i), tidak ada keraguan mengenai
kebenarannya. Sedangkan bukti bahwa Al-Qur’an itu dari sisi Allah adalah
kemukjizatannya dalam melemahkan ummat manusia untuk mendatangkan yang semisal
Al-Qur’an.
Sebagai bukti bahwa al-Qur’an itu
datang dari sisi Allah ialah ketidaksanggupan (kelemahan) orang-orang membuat
tandingannya, biar mereka itu sastrawan sekalipun.
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian
yang lain". (QS. Al-Isra’ : 88)
“Bahkan mereka
mengatakan: "Muhammad Telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah:
"(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat
yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya)
selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". (QS. Hud : 13)
“Dan jika kamu (tetap)
dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami
(Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah : 23)
Biarpun orang-orang kafir tersebut
sudah berusaha dengan sungguh-sungguh membuat surat-surat al-Qur’an untuk
menandinginya, namun sekali-kali hasilnya tidak memadai sedikit pun. Akhirnya
mereka harus mengakui akan kelemahan mereka dan mengakui bahwa al-Qur’an adalah
di luar kemampuan manusia. Inilah sebagai bukti bahwa al-Qur’an itu datang dari
sisi Tuhan.
Macam-Macam Hukum Al-Qur’an
Hukum Yang dikandung oleh Al-Qur’an
itu ada tiga macam, yaitu :
I.
Hukum-hukum
I’tiqadiyyah, yang berkaitan dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap
mukallaf, yaitu mempercayai Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
Rasul-Nya, dan hari akhir.
II.
Hukum
moralitas, yang berhubungan dengan sesuatu yang harus dijadikan perhiasan oleh
setiap mukallaf, berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal yang
hina.
III.
Hukum amaliyyah
yang bersangkut paut dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf, baik berupa
perbuatan, perkataan, perjanjian hukum dan pembelanjaan. Macam yang ketiga ini
adalah fiqh Al-Qur’an. Dan inilah yang dimaksud dengan sampai kepadanya dengan
ilmu ushul fiqh.
Hukum-hukum amaliyyah di dalam Al-Qur’an terdiri dari dua macam,
yaitu :
a.
Hukum-hukum
ibadah, seperti : shalat, puasa, zakat, hajji, nadzar, sumpah, dan
ibadah-ibadah lainnya yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya.
b.
Hukum
mu’amalat, seperti : akad, pembelanjaan, hukuman, pidana dan lainnya yang bukan
ibadah dan yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara sesama mukallaf,
baik sebagai individu, bangsa, atau kelompok.
Hukum yang bukan ibadah disebut hukum mu’amalat menurut istilah
syara’. Sedangkan menurut istilah modern hukum mu’amalat ini terbagi menurut
sesuatu yang berkaitan dengannya dan maksud yang dikehendakinya menjadi
beberapa macam berikut ini : hukum keluarga, hukum perdata, hukum pidana, hukum
acara, hukum perundang-undangan, hukum tata negara, hukum ekonomi dan keuangan.
Dalalah Ayat Al-Qur’an : Qath’i (pasti) dan Zahnni (persangkaan)
Nash-nash Al-Qur’an dari segi
dalalahnya terhadap hukum-hukum yang dikandungnya, terbagi menjadi 2 bagian.
a.
Nash yang
qath’i dalalahnya terhadap hukumnya.
“Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu jika
mereka tidak mempunyai anak”. (QS. An-Nisa :
12)n
Ayat
diatas qath’i (pasti) dalalahnya, bahwa bahagian suami dalam kondisi seperti
ini adalah seperdua, tidak bisa lainnya.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali deraan.”
(QS. An-Nur : 2)
Ayai
tersebut secara pasti menunjukkan bahwa hadd zina adalah seratus kali deraan,
tidak lebih dan tidak kurang.
b.
Nash yang
zhanni dalalahnya terhadap hukumnya.
Yaitu nash yang
menunjukkan atas suatu makna, akan tetapi masih memungkinkan untuk ditakwilkan
atau dipalingkan dari makna ini atau makna lainnya.
“Diharamkam bagimu (memakan) bangkai dan darah...” (QS. Al-Maidah : 3)
Lafazh
“maytah” (bangkai) itu umum. Nash ini mempunyai kemingkinan pengertian :
mengharamkan setiap bangkai, dan ada kemungkinan untuk mentakhshishkan
pengharaman itu dengan sesuatu selain bangkai lautan.
SUMBER HUKUM ISLAM
HADITS / SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KEDUA
Pengertian Hadits / Sunnah
Sunnah menurut istilah syara’ adalah
: “sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
ataupun pengakuan (taqrir). Jumhur muhadditsin mendefinisikan hadits adalah :
“segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, ketetapan, atau yang lainnya.
Macam-macam Sunnah
1.
Sunnah Qauliyah
(Hadits Qouli) [perkataan] , yaitu sunnah yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk perkataan.
2.
Sunnah
fi’liyyah (Hadits Fi’li) [perbuatan] ,
yaitu segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk perbuatan.
3.
Sunnah
taqririyyah (Hadits Taqriri) [persetujuan]
, yaitu perbuatan shahabat yang mendapatkan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW.
Kehujjahan As-Sunnah
Bukti-bukti atas kehujjahan sunnah banyak, diantaranya :
I.
Nash-nash
Al-Qur’an
“Katakanlah :
Taatilah Allah dan Rasul...” (QS. Ali
‘Imran : 32)
“Barang siapa
yang mentaati Rasul itu, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah...” (QS. An-Nisa’ : 80)
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)” (QS. An-Nisa : 59)
“Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.”
(QS. Al-Ahzab : 36)
“Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah...” (QS. Al-Hasyr : 7)
Dengan berhimpunnya ayat-ayat
tersebut dan saling menopang, maka ayat-ayat itu menunjukkan dengan suatu
dalalah yang pasti, bahwa Allah meriwayatkan untuk mengikuti Rasul-Nya berkenaan
dengan apa yang disyari’atkannya.
Selain itu nash-nash dalam as-Sunnah
dan Ijma’ para shahabat juga banyak yang menetapkan mengenai kehujjahan
As-Sunnah.
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan
tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah
dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik).
“Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah
Khulafa ar-Rasyidin, berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya’. (HR. Abu Daud dan Ibn Majah).
Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
1.
Ada kalanya
As-Sunnah itu menetapkan atau mengukuhkan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an.
2.
Ada kalanya
As-Sunnah itu memerinci dan menafsirkan terhadap sesuatu yang datang dalam
Al-Qur’an secara global, membatasi terhadap hal-hal yang datang dalam Al-Qur’an
secara mutlak, atau mentakhshish sesuatu yang datang di dalamnya secara umum.
3.
Adakalanya
sunnah itu menetapkan dan membentuk hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
Hukum ini ditetapkan berdasarkan sunnah
dan nash Al-Qur’an tidak menunjukinya.
Sehingga, selain itu hadits berfungsi sebagai :
1.
Hadits
berfungsi untuk memperkuat hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an.
2.
Hadits
berfungsi sebagai pemerinci atau penjelas aturan-aturan dalam Al-Qur’an.
3.
Hadits berfungsi
sebagai ketentuan hukum baru, jika hukum tersebut belum diatur di dalam
Al-Qur’an.
Penggolongan Hadits Berdasarkan Banyaknya Rawi
1.
Hadits
Mutawatir
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang pada tiap-tiap
tingkatan/generasi dan mustahil untuk bersepakat berdusta (pemalsuan hadits).
2.
Hadits Masyhur
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih akan
tetapi tidak mencapai derajat mutawatir.
3.
Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang, tiga
orang atau lebih yang tidak mencapai derajat mutawatir.
Penggolongan Hadits Berdasarkan Diterima dan ditolaknya
1.
Hadits Shahih
Yaitu hadits yang mempunyai sanad bersambung hingga Rasulullah SAW,
dinukul oleh seorang yang adil dan dzabit, hingga akhir sanadnya, tanpa ada kejanggalan
dan cacat.
2.
Hadits Hasan
Yaitu hadits yang sanadnya tidak terdapati orang yang tertuduh
bohong, haditsnya tidak janggal, serta diriwayatkan tidak hanya dalam satu
jalur periwayatan.
Atau , hadits yang dinukil oleh seorang yang adil tetapi tidak begitu
kuat ingatannya, bersambung sanadnya, dan tidak terdapat cacat serta
kejanggalan.
3.
Hadits Dha’if
Yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat diterimanya suatu hadits
dikarenakan hilangnya salah satu syarat atau lebih dari beberapa syarat yang
ada.
Contoh : Hadits Maudhu’ (palsu) , Hadits Matruk (rawinya tertuduh
dusta) , Hadits Munkar (rawinya banyak kesalahan, kelengahan, kefasikan, /
kemaksiatan) , Hadits Mu’allal (ada kecacatan) , Hadits Mudraj (terdapat
kalimat lain yang bukan bagian dari teks hadits) , Hadits Maqlub (Menyalahi
hadits lain, terdapat penukaran suatu kata dengan kata lain dalam sanad maupun
matan) , d.l.l.
Penggolongan hadits berdasarkan penyandarannya
1.
Hadits Qudsi
Sabda Nabi Muhammad yang disandarkan kepada Allah SWT.
2.
Hadits Marfu’
Hadits yang disandarkan / penyandarannya sampai kepada orang yang
memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah SAW.
Skema hadits Marfu’ : Nabi SAW >> Shahabat >> Tabi’in
>> Tabi’at-Tabi’in >> Mukharrij.
3.
Hadits Mauquf
Hadits yang sanadnya terhenti sampai kepada shahabat, tidak sampai
pada Rasulullah SAW.
Skema hadits Mauquf : Nabi SAW (Bagian yang hilang) >>
Shahabat >> Tabi’in >> Tabi’at-Tabi’in >> Mukharrij.
4.
Hadits Maqtu’
Hadits yang sanadnya terhenti sampai Tabi’in, tidak sampai kepada
shahabat apalagi sampai kepada Rasulullah SAW.
Skema Hadits Maqtu’ : Nabi SAW (Bagian yang hilang) >>
Shahabat (Bagian yang hilang) >> Tabi’in >> Tabi’at-Tabi’in
>> Mukharrij.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar