Rabu, 12 April 2017

SUMBER HUKUM ISLAM AL QUR'AN

SUMBER HUKUM ISLAM AL QUR'AN
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA

Pengertian Al-Qur’an
            Al-Qur’an menurut bahasa ialah bacaan atau yang dibaca. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril, dalam bahasa Arab, tertulis dalam mushhaf, diawali dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas. Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diriwayatkan secara Mutawatir, baik secara tulisan maupun lisan, dari generasi ke generasi, dan tetap terpelihara dari perubahan dan pegangan apapun, serta membaca Al-Qur’an merupakan bagian dari ibadah.

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15] : 9)

Keistimewaan Al-Qur’an
            Di antara keistimewaan Al-Qur’an adalah bahwa lafadzhnya dan maknanya berasal dari Allah. Lafazh Al-Qur’an yang berbahasa Arab itulah yang diturunkan oleh Allah ke dalam hati Rasul-Nya. Sedangkan Rasul tidak lain hanyalah membacakannya dan menyampaikannya. Dari keistimewaan itulah, maka 3 hal berikut ini bukan termasuk al-Qur’an, antara lain :
1.    Makna-makna yang diilhamkan Allah kepada Rasul-Nya, namun lafazh-lafazhnya tidak Dia turunkan kepadanya, tetapi Rasul sendiri yang mengungkapkan dengan lafazhnya terhadap sesuatu yang diilhamkan kepadanya. Yang demikian itu tidaklah termasuk Al-Qur’an, itu adalah Hadits Qudsi, yang ketika membacanya tidak dianggap sebagai ibadah.
2.    Tafsir ayat atau surat al-Qur’an yang menggunakan bahasa Arab sebagai muradif (sinonim) dari lafazhnya. Sebab sebagaimana diketahui bahwa lafazh al-Qur’an itu bahasanya adalah bahasa Arab yang khusus datangnya dari Allah.
3.    Terjemahan ayat atau surat al-Qur’an dalam bahasa asing, biarpun terjemahnya sangat fasih lagi memadai.
Keistimewaan al-Qur’an yang lain ialah bahwa al-Qur’an itu sampai kepada kita secara mutawatir, yakni dengan cara penyampaian yang menimbulkan keyakinan tentang kebenarannya, karena disampaikan oleh sekian banyak orang yang mustahil mereka itu bersepakat untuk berbohong.

Kehujjahan Al-Qur’an
            Dalil bahwa Al-Qur’an adalah hujjah atas ummat manusia dan hukum-hukumnya merupakan undang-undang yang wajib mereka ikuti, adalah : bahwa Al-Qur’an dari sisi Allah dan disampaikan kepada mereka dari Allah melalui cara yang pasti (qath’i), tidak ada keraguan mengenai kebenarannya. Sedangkan bukti bahwa Al-Qur’an itu dari sisi Allah adalah kemukjizatannya dalam melemahkan ummat manusia untuk mendatangkan yang semisal Al-Qur’an.
            Sebagai bukti bahwa al-Qur’an itu datang dari sisi Allah ialah ketidaksanggupan (kelemahan) orang-orang membuat tandingannya, biar mereka itu sastrawan sekalipun.

Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (QS. Al-Isra’ : 88)

“Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad Telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". (QS. Hud : 13)

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah : 23)
            Biarpun orang-orang kafir tersebut sudah berusaha dengan sungguh-sungguh membuat surat-surat al-Qur’an untuk menandinginya, namun sekali-kali hasilnya tidak memadai sedikit pun. Akhirnya mereka harus mengakui akan kelemahan mereka dan mengakui bahwa al-Qur’an adalah di luar kemampuan manusia. Inilah sebagai bukti bahwa al-Qur’an itu datang dari sisi Tuhan.

Macam-Macam Hukum Al-Qur’an
            Hukum Yang dikandung oleh Al-Qur’an itu ada tiga macam, yaitu :
I.         Hukum-hukum I’tiqadiyyah, yang berkaitan dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf, yaitu mempercayai Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir.
II.      Hukum moralitas, yang berhubungan dengan sesuatu yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf, berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal yang hina.
III.   Hukum amaliyyah yang bersangkut paut dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf, baik berupa perbuatan, perkataan, perjanjian hukum dan pembelanjaan. Macam yang ketiga ini adalah fiqh Al-Qur’an. Dan inilah yang dimaksud dengan sampai kepadanya dengan ilmu ushul fiqh.
Hukum-hukum amaliyyah di dalam Al-Qur’an terdiri dari dua macam, yaitu :
a.    Hukum-hukum ibadah, seperti : shalat, puasa, zakat, hajji, nadzar, sumpah, dan ibadah-ibadah lainnya yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
b.    Hukum mu’amalat, seperti : akad, pembelanjaan, hukuman, pidana dan lainnya yang bukan ibadah dan yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara sesama mukallaf, baik sebagai individu, bangsa, atau kelompok.
Hukum yang bukan ibadah disebut hukum mu’amalat menurut istilah syara’. Sedangkan menurut istilah modern hukum mu’amalat ini terbagi menurut sesuatu yang berkaitan dengannya dan maksud yang dikehendakinya menjadi beberapa macam berikut ini : hukum keluarga, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara, hukum perundang-undangan, hukum tata negara, hukum ekonomi dan keuangan.

Dalalah Ayat Al-Qur’an : Qath’i (pasti) dan Zahnni (persangkaan)
            Nash-nash Al-Qur’an dari segi dalalahnya terhadap hukum-hukum yang dikandungnya, terbagi menjadi 2 bagian.
a.         Nash yang qath’i dalalahnya terhadap hukumnya.
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak”. (QS. An-Nisa : 12)n
Ayat diatas qath’i (pasti) dalalahnya, bahwa bahagian suami dalam kondisi seperti ini adalah seperdua, tidak bisa lainnya.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali deraan.” (QS. An-Nur : 2)
Ayai tersebut secara pasti menunjukkan bahwa hadd zina adalah seratus kali deraan, tidak lebih dan tidak kurang.
b.        Nash yang zhanni dalalahnya terhadap hukumnya.
Yaitu nash yang menunjukkan atas suatu makna, akan tetapi masih memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan dari makna ini atau makna lainnya.
“Diharamkam bagimu (memakan) bangkai dan darah...” (QS. Al-Maidah : 3)
Lafazh “maytah” (bangkai) itu umum. Nash ini mempunyai kemingkinan pengertian : mengharamkan setiap bangkai, dan ada kemungkinan untuk mentakhshishkan pengharaman itu dengan sesuatu selain bangkai lautan.




SUMBER HUKUM ISLAM
HADITS / SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KEDUA

Pengertian Hadits / Sunnah
            Sunnah menurut istilah syara’ adalah : “sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan (taqrir). Jumhur muhadditsin mendefinisikan hadits adalah : “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, atau yang lainnya.

Macam-macam Sunnah
1.    Sunnah Qauliyah (Hadits Qouli) [perkataan] , yaitu sunnah yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk perkataan.
2.    Sunnah fi’liyyah (Hadits Fi’li) [perbuatan] , yaitu segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk perbuatan.
3.    Sunnah taqririyyah (Hadits Taqriri) [persetujuan] , yaitu perbuatan shahabat yang mendapatkan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW.

Kehujjahan As-Sunnah
Bukti-bukti atas kehujjahan sunnah banyak, diantaranya :
I.          Nash-nash Al-Qur’an
“Katakanlah : Taatilah Allah dan Rasul...” (QS. Ali ‘Imran : 32)
“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah...” (QS. An-Nisa’ : 80)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)” (QS. An-Nisa : 59)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab : 36)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah...” (QS. Al-Hasyr : 7)
            Dengan berhimpunnya ayat-ayat tersebut dan saling menopang, maka ayat-ayat itu menunjukkan dengan suatu dalalah yang pasti, bahwa Allah meriwayatkan untuk mengikuti Rasul-Nya berkenaan dengan apa yang disyari’atkannya.
            Selain itu nash-nash dalam as-Sunnah dan Ijma’ para shahabat juga banyak yang menetapkan mengenai kehujjahan As-Sunnah.
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik).
“Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa ar-Rasyidin, berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya’. (HR. Abu Daud dan Ibn Majah).

Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
1.        Ada kalanya As-Sunnah itu menetapkan atau mengukuhkan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an.
2.        Ada kalanya As-Sunnah itu memerinci dan menafsirkan terhadap sesuatu yang datang dalam Al-Qur’an secara global, membatasi terhadap hal-hal yang datang dalam Al-Qur’an secara mutlak, atau mentakhshish sesuatu yang datang di dalamnya secara umum.
3.        Adakalanya sunnah itu menetapkan dan membentuk hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Hukum ini ditetapkan berdasarkan  sunnah dan nash Al-Qur’an tidak menunjukinya.
Sehingga, selain itu hadits berfungsi sebagai :
1.        Hadits berfungsi untuk memperkuat hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an.
2.        Hadits berfungsi sebagai pemerinci atau penjelas aturan-aturan dalam Al-Qur’an.
3.        Hadits berfungsi sebagai ketentuan hukum baru, jika hukum tersebut belum diatur di dalam Al-Qur’an.

Penggolongan Hadits Berdasarkan Banyaknya Rawi
1.      Hadits Mutawatir
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang pada tiap-tiap tingkatan/generasi dan mustahil untuk bersepakat berdusta (pemalsuan hadits).
2.      Hadits Masyhur
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih akan tetapi tidak mencapai derajat mutawatir.
3.      Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih yang tidak mencapai derajat mutawatir.

Penggolongan Hadits Berdasarkan Diterima dan ditolaknya
1.      Hadits Shahih
Yaitu hadits yang mempunyai sanad bersambung hingga Rasulullah SAW, dinukul oleh seorang yang adil dan dzabit, hingga akhir sanadnya, tanpa ada kejanggalan dan cacat.
2.      Hadits Hasan
Yaitu hadits yang sanadnya tidak terdapati orang yang tertuduh bohong, haditsnya tidak janggal, serta diriwayatkan tidak hanya dalam satu jalur periwayatan.
Atau , hadits yang dinukil oleh seorang yang adil tetapi tidak begitu kuat ingatannya, bersambung sanadnya, dan tidak terdapat cacat serta kejanggalan.
3.      Hadits Dha’if
Yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat diterimanya suatu hadits dikarenakan hilangnya salah satu syarat atau lebih dari beberapa syarat yang ada.
Contoh : Hadits Maudhu’ (palsu) , Hadits Matruk (rawinya tertuduh dusta) , Hadits Munkar (rawinya banyak kesalahan, kelengahan, kefasikan, / kemaksiatan) , Hadits Mu’allal (ada kecacatan) , Hadits Mudraj (terdapat kalimat lain yang bukan bagian dari teks hadits) , Hadits Maqlub (Menyalahi hadits lain, terdapat penukaran suatu kata dengan kata lain dalam sanad maupun matan) , d.l.l.

Penggolongan hadits berdasarkan penyandarannya
1.      Hadits Qudsi
Sabda Nabi Muhammad yang disandarkan kepada Allah SWT.
2.      Hadits Marfu’
Hadits yang disandarkan / penyandarannya sampai kepada orang yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah SAW.
Skema hadits Marfu’ : Nabi SAW >> Shahabat >> Tabi’in >> Tabi’at-Tabi’in >> Mukharrij.
3.      Hadits Mauquf
Hadits yang sanadnya terhenti sampai kepada shahabat, tidak sampai pada Rasulullah SAW.
Skema hadits Mauquf : Nabi SAW (Bagian yang hilang) >> Shahabat >> Tabi’in >> Tabi’at-Tabi’in >> Mukharrij.
4.      Hadits Maqtu’
Hadits yang sanadnya terhenti sampai Tabi’in, tidak sampai kepada shahabat apalagi sampai kepada Rasulullah SAW.
Skema Hadits Maqtu’ : Nabi SAW (Bagian yang hilang) >> Shahabat (Bagian yang hilang) >> Tabi’in >> Tabi’at-Tabi’in >> Mukharrij.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendidikan Anak dalam Perspektif Al Qur'an

BAB I PENDAHULUAN A.        Latar Belakang Anak dalam perspektif Islam merupakan rahmat dari Allah yang diberikan kepada orang tua, d...