Sabtu, 15 April 2017

FILOSOF MUSLIM UMAIYAH ANDALUSIA



FILOSOF MUSLIM UMAIYAH ANDALUSIA
PENDAHULUAN
            Berfilsafat adalah bagian dari peradaban manusia. Semua peradaban yang pernah timbul di dunia pasti memiliki filsafat masing-masing. Diantara filsafat yang pernah berkembang selain filsafat Yunani adalah filsafat Persia, Cina, India, dan filsafat Islam.
            Filsafat Islam, sebagaimana sejarah muslim umumnya, telah melewati lima tahap yang berlainan. Tahap pertama berlangsung dari abad 1 H / 7 M hingga jatuhnya Baghdad. Tahap kedua adalah tahap keguncangan selama setengah abad. Tahap ketiga merentang dari abad ke-4/14 hingga abad ke 12/18. Tahap keempat adalah tahap yang paling menyedihkan, berlangsung sampai setengah abad, inilah zaman kegelapan Islam. Tahap kelima bermula pada pertengahan abad ke 13/19, yang merupakan periode renaisans modern.
IBNU BAJJAH
            Nama asli Ibnu Bajjah adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Yahya al-Sha’igh. Di dunia Barat terkenal dengan sebutan Avempace. Dia berasal dari keluarga Al Tujib sehingga terkenal dengan sebutan Al Tujibi. Lahir pada abad 11 M atau abad V H, di kota Saragossa hingga besar.[1]
Ajaran Filsafatnya
            Ibnu Bajjah adalah ahli yang menyandarkan pada teori dan praktik ilmu-ilmu matematika, astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi spekulatif seperti logika, filsafat alam dan metafisika.
            Ibnu Bajjah menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya-karya Al-Farabi, dan dia telah memberikan sejumlah besar tambahan dalam karya-karya itu. Dan dia telah menggunakan metode penelitian filsafat yang benar-benar lain. Tidak seperti Al-Farabi,dia berurusan dengan segala masalah hanya berdasarkan nalar semata. Dia mengagumi filsafat Aristoteles, yang di atasnya dia membangun sistemnya sendiri. Tapi, dia berkata, untuk memahami lebih dulu filsafatnya secara benar. Itulah sebabnya Ibnu Bajjah menulis uraian-uraian sendiri atas karya-karyanya Aristoteles. Uraian-uraian ini merupakan bukti yang jelas bahwa dia mempelajari teks-teks karya Aristoteles dengan sangat teliti. Seperti juga dalam filsafat Aristoteles, Ibnu Bajjah mendasarkan metafisika dan psikologinya pada fisika, dan itulah sebabnya mengapa tulisan-tulisannya penuh dengan wacana-wacana mengenai fisika.[2]
Epistemologi
            Manusia mampu berhubungan dan meleburkan diri dengan akal fa’al atas bantuan ilmu dan pertumbuhan kekuasaan insaniah, bila ia telah bersih dari kerendahan dan keburukan masyarakat. Pengetahuan yang didapatkan lewat akal, akan membangun kepribadian seseorang. Akal mendapatkan obyek-obyek pengetahuan yang disebut hal-hal yang dapat diserap dari unsur imajinatif, dan memberikan sejumlah obyek pengetahuan lain kepeda unsur imajinatif. Menurut Ibnu Bajjah akal memiliki dua fungsi yaitu memberikan imaji obyek yang akan diciptakan kepada unsur imajinasi dan memiliki obyek yang dibuat di luar ruh dengan menggerakkan organ-organ tubuh.
Metafisika
            Menurut Ibnu Bajjah segala yang wujud terbagi dua bergerak dan tidak bergerak. Yang bergerak itu materi yang sifatnya terbatas dan sebab gerakannya berasal dari kekuatan yang tidak terbatas, yaitu akal. Untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, Ibnu Bajjah menganjurkan untuk melakukan 3 hal : (1) membuat lidah selalu mengingat Tuhan. (2) membuat organ-organ tubuh kita bertindak sesuai dengan wawasan hati. (3) menghindari segala yang membuat kita lalai mengingat Tuhan.
Jiwa
            Jiwa dianggap sebagai pernyataan dalam tubuh alamiah dan teratur yang bersifat nutritif (mengandung zat-zat untuk badan), sensitif (kepekaan), dan imajinatif (rasional). Jiwa yang berhasrat itu terdiri dari 3 unsur, yaitu : hasrat imajinatif, hasrat menengah, dan hasrat berbicara.
Politik
            Dia menerima pendapat al-Farabi yang membagi negara menjadi negara sempurna dan negara tidak sempurna. Tapi Ibnu Bajjah memberikan tambahan bahwasannya seorang mutawahhid sekalipun, harus senantiasa berhubungan dengan masyarakat. Tetapi hendaklah seseorang mampu menguasai diri dan sanggup mengendalikan hawa nafsu, tidak terseret ke dalam arus perbuatan rendah masyarakat. Dalam Risalah al-Wada’ Ibnu Bajjah memberikan dua fungsi alternatif negara: (1) untuk menilai perbuatan rakyat guna membimbing mereka mencapai tujuan yang mereka inginkan (2) merancang cara-cara mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam sistem al-Farabi dan Ibnu Bajjah, konstitusi harus disusun oleh Kepala Negara.
Tasawuf
Ibnu Bajjah mengagumi al-Ghazali dan menyatakan bahwa metode al-Ghazali memampukan orang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, dan bahwa metode ini didasarkan pada ajaran-ajaran Nabi suci. Sang Sufi menerima cahaya di dalam hatinya. Ibnu Bajjah menjunjung tinggi para wali Allah (Auliya’ Allah) dan menempatkan mereka di bawah para Nabi. Menurutnya, sebagian orang dikuasai oleh keinginan jasmaniyah belaka, mereka berada di tingkat paling bawah, dan sebagian lagi dikuasai oleh spiritualitas, kelompok ini sangat langka.[3]
IBNU TUFAIL
            Nama lengkapnya ialah Abu Bakar Muhammad ibn ‘Abd Al Malik ibn Muhammad ibn Muhammad Tufail, dalam tulisan latin, Abubacer. Ia adalah pemuka pertama dalam pemikiran filosof Muwahhid yang berasal dari Spanyol. Ibnu Tufail lahir pada abad VI H/XIII M di kota Guadix, Propinsi Granada. Keturunan Ibnu Tufail termasuk keluarga suku Arab yang terkemuka, yaitu suku Qais.[4]
Pemikiran-pemikiran Ibnu Tufail
Beberapa pemikiran/pendapat Ibnu Thufail, yaitu:
1.         Ada dua jalan untuk mengenal Tuhan, yaitu dengan jalan akal atau dengan jalan syariat. Kedua jalan tidaklah bertentangan, karena akhir daripada filsafat adalah mengenai Allah (marifatullah).
Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan.
1.         Sifat Allah itu pada dua kelompok :
Ø  Sifat-sifat yang menetapkan wujud Zat Allah, ilmu, kudrat dan hikmah. Sifat-sifat ini adalah Zat-Nya sendiri. Hal ini untuk meniadakan ta’addud al-qudama (berbilangnya yang qadim) sebagaimana paham mu’tazilah.
Ø  Sifat salab, yakni sifat-sifat yang menafikan paham kebendaan dari Zat Allah. Dengan demikian, Allah suci dari kaitan dengan kebendaan.
2.         Filsafat dan agama tidak bertentangan dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan Wahyu. Allah tidak hanya dapat diketahui dengan Wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal.
Agama penuh dengan perbandingan, persamaan dan persepsi-persepsi antropomorfosis, sehingga cukup mudah dipahami oleh orang banyak. Filsafat merupakan bagian dari kebenaran esoteris, yang menafsirkan lambang-lambang agama agar diperoleh pengertian-pengertian yang hakiki.
Walaupun Ibnu Thufail menyadari tingkatan akal manusia itu berbeda-beda Roman Hayy Ibn Yaqzhan : “Hayy pun menjadi tahu akan tingkatan-tingkatan manusia. Ia dapati” tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada diri mereka (masing-masing). “mereka menjadikan hawa nafsu mereka sebagai Ilah mereka. Dan mereka sama halnya seperti hewan yang tak berpikir.
-          Qadimnya dunia (bumi dan alam semesta alam), hal ini bertolak belakang dengan pendapat Al-Ghazali.[5]
Ulasan terhadap Ibnu Tufail
            Pertama kali Ibnu Tufail dikatakan orang berada di suatu tingkat yang ajaib dalam ilmunya, yakni berada dalam tingkat mistik yang penuh kegembiraan. Beberapa orang menganggapnya sebagai orang panteis, orang yang menganggap tidak ada beda lagi antara dirinya dengan Tuhan. Anggapan ini ternyata salah. Dia sebenarnya hanya seperti juga Al Ghazali, merasa telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi seperti katanya : “Terjadilah sesuatu yang tak akan ku sebutkan. Akan tetapi sangkalah dia sebagai suatu kebaikan juga, dan jangan tanya tentang beritanya.”
            Banyak sahabat Ibnu Tufail yang bagaimana penglihatan orang yang telah mencapai tingkatan itu. Akan tetapi, dalam bukunya ternyata Ibnu Tufail tidak menerangkan tentang itu. Diduga ia, seperti filosof-filosof lain sebelumnya, tidak dapat menceritakan karena miskinnya perbendaharaan kata manusia itu.[6]
IBNU RUSYD
            Nama lengkapnya adalah Abu Al Wahid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Lahir di kota Cordova pada tahun 1126 M / 520 H. Ia keturunan dari keluarga yang ahli dalam ilmu fiqh. Ibnu Rusyd mempelajari Al-Qur’an beserta penafsirannya, hadits Nabi, ilmu fiqh, bahasa dan sastra Arab. Metode belajarnya secara lisan dari seorang ahli. Ibnu Rusyd merevisi buku Malikiyah, Al Muwatha dipelajari bersama ayahnya Abu Al Qasim, dan dapat dihafalnya. Di samping itu, dia mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan ilmu pengobatan.[7]
Filsafat Ajarannya :
Pencarian Tuhan
            Pembahasan filsafat berkisar tentang wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan-Nya dengan alam. Ibnu Rusyd membagi syariat kepada dua, yaitu arti lahir dan arti yang ditakwilkan. Arti lahir adalah untuk orang banyak, sedangkan arti yang ditakwilkan adalah bagian orang-orang pandai. Dalam Manahij Al-Adillah, ia meneliti kaidah-kaidah lahir yang dimaksudkan oleh syara’ untuk dipegangi oleh kebanyakan orang, karena mereka mengalami kebingungan dan timbullah kerenanya golongan-golongan yang sesat serta menyesatkan. Setelah itu, dalam Tahafit At-Tahafut ia mempertahankan filsafat dari serangan Al-Ghazali, terutama mengenai soal-soal Ketuhanan.
            Setelah Ibnu Rusyd meneliti berbagai golongan yang timbul dalam Islam, menurut pendapatnya, yang paling terkenal ada empat, yaitu Asy’ariyah, Mu’tazilah, Batiniah, dan Hasywiah. Masing-masing golongan mempunyai kepercayaan yang berlainan tentang Tuhan, dan banyak memindahkan kata-kata syara dari arti lahirnya kepada takwilan-takwilan yang disesuaikan dengan kepercayaannya, kemudian mereka mengira bahwa kepercayaannya itulah yang merupakan syariat yang harus dianut oleh semua orang, dan barang siapa yang menyimpang daripadanya berarti kafir atau sekurang-kurangnya telah menjadi bid’ah. Sebab, terjadinya keadaan tersebut ialah karena mereka sudah menyimpang dari maksud syara dan tidak dapat memahaminya.
            Tentang Al-Ghazali, menurut Ibnu Rusyd, ia telah mengikisi bukunya Tahafut Al-Falasifah dengan pikiran-pikiran Sofistis, dan kata-katanya tidak sampai pada tingkat keyakinan serta tidak mencerminkan hasil pemahamannya terhadap filsafat itu sendiri. Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pikiran-pikiran filosof-filosof dengan cara demikian, tidak pantas baginya, sebab tidak lepas dari satu dari dua hal. Pertama, ia sebenarnya memahami pikiran-pikiran tersebut, tetapi tidak disebutkan di sini secara benar-benar dan ini adalah perbuatan orang-orang buruk. Kedua, ia memang tidak memahami benar-benar, dan dengan demikian, ia membicarakan sesuatu yang tidak dikuasainya, dan ini adalah perbuatan orang-orang bodoh.[8]
            Terhadap golongan tasawuf, maka menurut Ibnu Rusyd bahwa cara penelitian mereka bukan pemikiran, yakni yang terdiri atas dasar-dasar pemikiran atau premis-premis dan kesimpulan, karena mereka mengira bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud lain diterima oleh jiwa ketika sudah terlepas dari hambatan-hambatan kebendaan dan ketika pikirannya tertuju kepada perkara yang dicarinya. Cara tersebut menurut Ibnu Rusyd bukanlah cara kebanyakan orang sebagai orang, yakni sebagai makhluk yang mempunyai pikiran dan diserukan memakai pemikirannya. Selain itu jalan tersebut menyalahi syara’ yang menyerukan pemakaian akal pikiran. Nampak sekali argumen-argumen Ibnu Rusyd yang bersifat filosofis itu beraliran rasionalisme ia telah mengagungkan kemampuan akal pikiran dan ia menganggapnya sebagai dasar dari pengetahuan juga sebagai dasar dari wujud.[9]
Wujud Tuhan
            Dalam Fashl Al Maqal Ibnu Rusyd menyatakan, bahwa mengenal pencipta itu hanya mungkin dengan mempelajari ajaran wujud yang diciptakan-Nya, untuk dijadikan petunjuk bagi adanya pencipta itu. Allah memberikan dua dalil dalam kitab-kitabnya, yang diringkas oleh Ibnu Rusyd sebagai dalil ‘inayah dan dalil cipta atau ikhtira’, ayat-ayat yang mewujudkan dalil ‘ikhtira’ adalah seperti : “Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walau mereka bersatu untuk menciptakannya”.[10] Dan ayat-ayat yang mewujudkan dalil inayah adalah seperti : “Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak”.[11]
            Kedua dalil tersebut sesuai untuk orang-orang awam dan filosuf, dan bisa diterima oleh keduanya. Perbedaan antara keduanya hanya bersifat kualitatif saja, yakni filosuf mempunyai kelebihan atas orang awam tentang jumlah perkara yang diketahuinya. Kalau orang awam hanya mencukupkan dengan pengetahuan pertama dari indera-indera untuk membuktikan adanya ‘inayah dan ikhtira’ dari Tuhan, maka filosuf menambahkan pengetahuan tersebut dengan pengetahuan yang diperoleh dari pembuktian pikiran yang meyakinkan (burhan).[12]
Bangunan alam
            Para filosof klasik mengatakan, bahwa bentuk bundar adalah yang paling sempurna, sehingga gerak melingkar merupakan gerak yang paling Afdol. Gerak inilah yang kekal lagi azali. Dengan sebab gerak ini, maka jisim-jisim samawi memiliki bentuk bundar. Karena jisim-jisim ini bergerak melingkar, maka alam semesta ini merupakan sesuatu planit yang bergerak melingkar.Dan planit ini hanya satu saja, sehingga tidak ada kekosongan. Demikianlah alam falak itu saling mengisi.
Jadi alam ini terdiri dari jisim-jisim samawi yang tunggal dan benda-benda bumi yang terdiri dari percampuran emoat anasir melalui falak-falak. Dari percampuran ini timbulah benda-benda padat, tumbuhan hewan, dan akhirnya manusia.
Manusia
Dalam masalah manusia, Ibn Rusyd juga dipengaruhi oleh teori Aristoteles. Sebagi bagian dari alam, manusia terdiri dari dua unsure materi dan forma.. jasad adalah materi dan jiwa adalah forma. Seperti halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd membuat definisi jiwa sebagai “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis.” Jiwa disebut sebagai kesempurnaan awal untuk membedakan dengan kesempurnaan lain yangmerupakan pelengkap darinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut organis untuk menunjukan kepada jisim yang terdiri dari anggota-anggota. Untuk menjelaskan kesempurnaan jiwa tersebut, Ibnu Rusyd mengkaji jenis-jenis jiwa yang menurutnya ada lima: (1) Jiwa Nabati, (2) Jiwa perasa, (3) Jiwa khayal, (4) Jiwa berfikir, (5) Jiwa kecendrungan.
Kenabian dan Mu’jizat
Allah menyampaikan wahyu kepada umat manusia melalui rasulnya. Dan sebagai bukti bahwa orang itu Rasul Allah, ia harus membawa tanda yang berasal darinya, dan tanda ini disebut mukjizat. Pada seorang rasul, mukzizat itu meliputi dua hal yang berhubungan dengan ilmu dan yang berhubungan dengan amal. Dalam hal yang pertama, rasul itu memberitahukan jenis-jenis ilmu dan berbagai amal perbuatan yang tidak lazim diketahui oleh manusia. Suatu hal yang diluar kebiasaan pengetahuan manusia, sehingga ia tidak dapat mengetahuinya adalah bukti bahwa orang yang membawanya adalah rasul yang menerima wahyu dari Allah, bukan dari dirinya.
Ringkasnya Ibnu Rusyd membedakan dua jenis mukjizat: mukjizat ekstern yang tidak sejalan dengan sifat dan tugas kerasulan, seperti menyembuhkan penyakit, membelah bulan dan sebagainya. Dan mukjizat intern yang sejalan dangan sifat dan tugas kerasulan yang membawa syariat untuk kebahagiaan umat manuisia. Mukjizat yangpertama yang berfungsi sebagai penguat sebagai kerasulan. Sedangkan yang kedua sebagai bukti yang kuat tentang kerasulan yang hakiki dan merupakan jalan keimanan bagi para ulama dan orang awamsesuai dengan kesanggupan akal masing-masing.
Politik dan Akhlak
Seperti yang telah disebut oleh plato, Ibnu Rusyd mengatkan, sebagai makhluk social, manusia perlu kepada pemerintah yang didasarkan kepada kerakyatan. Sedangkan kepala pemerintah dipegang oleh orang yang telah menghabiskan sebagian umurnya dalam dunia filsafat, dimana ia telah mencapai tingkat tinggi . pemerintahan islam pada awalnya menurut Ibnu rusyd adalah sangat sesuai dengan teorinya tentang revublik utama, sehingga ia mengecam khalifah muawwiyah yang mengalihkan pemerintahan menjadi otoriter.
Dalam pelaksanaan kekuasaan hendaknya selalu berpijak pada keadilan yang merupakan sendinya yang esensial. Hal ini karena adil itu adalah produk ma;rifat, sedangkan kezaliman adalah produk kejahilan.
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa dalam Negara utama orang tidak memerlukan lagi kepada hakim dan dokter karena segala sesuatu berjalan secara seimbang, tidak lebih dan tidak berrkurang.hal ini karena keutamaan itu sendiri mengandung dalam dirinya keharusan menghormati hak orang lain dan melakukan kewajiban.
Khusus tentang wanita , Ibnu rusyd sangat membela kedudukannya yang sangat penting dalam Negara. Pada hakikatnya, anita tidak berbeda dengan pria pada watak dan daya kekuatan. Dan jikapun ada, maka itu hanya ada pada kuantitas daya dan pada beberapa bidang saja. Dan jika dalam kerja, ia dibawa tingkat pria, tetapi iamelebihinya dalam bidang seni, seperti music. Menurut Ibnu Rusyd, masyarakat islam tidak akan maju, selama tidak membebaskan wanita dari berbagai ikatan dan kekangan yang membelenggu kebebasannya.[13]
DAFTAR PUSTAKA
·         Mustofa, H.A. Filsafat Islam Untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, dan Ushuluddin Komponen MKDK. Pustaka Setia, 1997.
·         Abdul Hakim, Atang, M.A. Drs. Dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi. Pustaka Setia : Bandung. 2008.



[1] Mustofa, H.A. Filsafat Islam Untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, dan Ushuluddin Komponen MKDK. Pustaka Setia, 1997. Halaman 255.
[2] Ibid., halaman 258-259.
[3] Didapat dari : http://elfalasy88.wordpress.com/2008/08/21/ibn-bajjah/ pada 20.20 WIB, 19 Juni 2011.

[4] Mustofa, H.A. Filsafat Islam Untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, dan Ushuluddin Komponen MKDK. Pustaka Setia, 1997. Halaman 271.
[5] Didapat dari : http://baktiraharjo.wordpress.com/48/ pada 20.24 WIB, 19 Juni 2011.
[6] Mustofa, H.A. Filsafat Islam Untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, dan Ushuluddin Komponen MKDK. Pustaka Setia, 1997. Halaman 282.

[7] Ibid., halaman 184.
[8] Abdul Hakim, Atang, M.A. Drs. Dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi. Pustaka Setia : Bandung. 2008. Halaman 507-508.

[9] Mustofa, H.A. Filsafat Islam Untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, dan Ushuluddin Komponen MKDK. Pustaka Setia, 1997. Halaman 291.
[10] QS. Al-Hajj : 73

[11] QS. An-Naba’ :6-7

[12] Mustofa, H.A. Filsafat Islam Untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, dan Ushuluddin Komponen MKDK. Pustaka Setia, 1997. Halaman 291-292.
[13] Didapat dari http://mickeydza90.blogspot.com/2009/05/pemikiran-filsafat-ibnu-rusyd.html pada 20.29 WIB, 19 Juli 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendidikan Anak dalam Perspektif Al Qur'an

BAB I PENDAHULUAN A.        Latar Belakang Anak dalam perspektif Islam merupakan rahmat dari Allah yang diberikan kepada orang tua, d...