Selasa, 11 April 2017

MAKALAH TAFSIR SURAT AL KAFIRUN

A.    TARJEMAHAN
1.  Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,
2.  Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
3.  Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah.
4.  Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.
6.  Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
B.   MUFRODAT

C.       ISI KANDUNGAN
Latar belakang turunnya surat ini adalah adanya usulan kompromi dari tokoh-tokoh kafir seperti Umayah bin Khalaf, al-Walid bin al-Mughirah, dan Aswad bin Abdul Muthalib kepada Nabi untuk saling bergantian menyembah tuhan.[1] Yang dimaksud “tuhan” di sini adalah tuhan kaum muslimin yaitu Allah dan tuhan kaum kafir yaitu patung berhala. Dalam artian kaum musyrikin quraisy akan menyembah tuhan yang di sembah Nabi Muhammad. Dan pada waktu yang lain, Nabi Muhammad dan pengikutnya diminta  untuk menyembah apa yang mereka sembah.
Kata Al-kafirun  berasal dari kata kafara yang artinya adalah menutup. Dan dalam al qur’an kata tersebut digunakan dalam berbagai makna tentunya sesuai dengan konteks kalimatnya. Kata kafir bisa berarti yang mengingkari keesaan Allah dan kerasulan nabi muhammad saw (lihat QS. Saba: 3). Kata ini bisa berarti tidak mensyukuri nikmat Allah, (QS. Ibrahim: 7) dan juga bisa berarti tidak mengamalkan tuntutan syari’at islam walau ia mengimaninya dalam hati (QS. Al-Baqoroh: 85). Dari beberapa pengertian kafir dapat di ambil kesimpulan kafir yaitu sikap yang menentang ajaran islam.
Kata A’budu adalah berbentuk fi’il mudhari’ ( kata kerja yang menunjukkan  masa kini dan yang akan datang) hal ini dapat di artikan bahwa na bi muhammad diperintahkan oleh Allah berkata “aku sekarang dan yang akan datang  untuk sepanjang masa tidak akan pernah menyembah, tunduk atau taat dengan apa yang kamu sembah wahai kaum musyrikin”.
Kemudian diakhir surat yaitu “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Ayat ini menerangkan kepada kita untuk saling bertoleransi antar umat beragama yang mengarahkan kita kepada kerukunan hidup dan dapat menyikapi perbedaan, tetapi tidak dengan bertukar keyakinan dan peribadatan. Ketegasan dan komitmen dalam memegangi keyakinan di tengah kehidupan bermasyarakat yang multikultural sebagai bentuk agreement in disagreement.[2] Kembali dalam berkehidupan di masyarakat kita lebih menjunjung tinggi lapang dada menyikapi perbedaan keyakinan, dan mengedepankan kerukunan hidup bersama, dan dalam beragama tidak ada pemaksaan.
D.    KESIMPULAN
Dari surah ini , kita sebagai orang beriman dpat mengambil pelajaran, hendaknya setiap mu’min memiliki kepribadian yang teguh dan kuat serta tidak tergoyahkan oleh apapun. Secara umum pada diri manusia terdapat dua potensi sifat. Sifat yang pertama yaitu sifat yang mampu mengararahka/mengajak pada kebaikan atau yang biasa disebut dengan nafsu malaikat,  sifat yang kedua yaitu sifat yang mampu mengajak pada kejahatan/kemurkaan yang disebut nafsu setan. Apabila manusia lebih memenangkan sifat malaikatnya, maka akan tampilah dia sebagai pribadi yang baik dan kukuh sera penuh pendirian. Sebaliknya jika seseoorang lebih memenangkan sifat  kejahatan/setan, dia akan tampil menjadi pribadi seperti setan yang indikatornya sifat setan  seperti kejam, takabur dan tidak memiliki kepribadian yang kikih dan kuat.
E.     REFERENSI
Mahmud Arif, Menyelam Makna Kewahyuan Kitab Suci ,Yogyakarta: Idea Press, 2009



[1] Mahmud Arif, Menyelam Makna Kewahyuan Kitab Suci (Yogyakarta: Idea Press, 2009), hlm.71.
[2] Ibid., hlm. 73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendidikan Anak dalam Perspektif Al Qur'an

BAB I PENDAHULUAN A.        Latar Belakang Anak dalam perspektif Islam merupakan rahmat dari Allah yang diberikan kepada orang tua, d...