A. TARJEMAHAN
1. Katakanlah:
"Hai orang-orang kafir,
2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah.
3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku
sembah.
4. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa
yang kamu sembah,
5.
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.
6. Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku."
B. MUFRODAT
C. ISI
KANDUNGAN
Latar
belakang turunnya surat ini adalah adanya usulan kompromi dari tokoh-tokoh
kafir seperti Umayah bin Khalaf, al-Walid bin al-Mughirah, dan Aswad bin Abdul Muthalib
kepada Nabi untuk saling bergantian menyembah tuhan.[1]
Yang dimaksud “tuhan” di sini adalah tuhan kaum muslimin yaitu Allah dan tuhan
kaum kafir yaitu patung berhala. Dalam artian kaum musyrikin quraisy akan menyembah tuhan yang di sembah
Nabi Muhammad. Dan pada waktu yang lain, Nabi Muhammad dan pengikutnya diminta untuk menyembah apa yang mereka sembah.
Kata Al-kafirun
berasal dari kata kafara yang artinya adalah menutup. Dan dalam al
qur’an kata tersebut digunakan dalam berbagai makna tentunya sesuai dengan
konteks kalimatnya. Kata kafir bisa berarti yang mengingkari keesaan Allah dan
kerasulan nabi muhammad saw (lihat QS. Saba’: 3). Kata ini bisa berarti tidak mensyukuri nikmat
Allah, (QS.
Ibrahim: 7) dan juga bisa berarti tidak mengamalkan tuntutan syari’at islam walau ia
mengimaninya dalam hati (QS. Al-Baqoroh:
85). Dari beberapa pengertian kafir dapat di ambil
kesimpulan kafir yaitu sikap yang menentang ajaran islam.
Kata A’budu adalah berbentuk fi’il mudhari’ ( kata kerja
yang menunjukkan masa kini dan yang akan
datang) hal ini dapat di artikan bahwa na bi muhammad diperintahkan oleh Allah
berkata “aku sekarang dan yang akan datang
untuk sepanjang masa tidak akan pernah menyembah, tunduk atau taat
dengan apa yang kamu sembah wahai kaum musyrikin”.
Kemudian
diakhir surat yaitu “bagimu agamamu dan
bagiku agamaku”. Ayat ini menerangkan kepada kita untuk saling bertoleransi
antar umat beragama yang mengarahkan kita kepada kerukunan hidup dan dapat
menyikapi perbedaan, tetapi tidak dengan bertukar keyakinan dan peribadatan.
Ketegasan dan komitmen dalam memegangi keyakinan di tengah kehidupan
bermasyarakat yang multikultural sebagai bentuk agreement in disagreement.[2]
Kembali dalam berkehidupan di masyarakat kita lebih menjunjung tinggi lapang dada
menyikapi perbedaan keyakinan, dan mengedepankan kerukunan hidup bersama, dan
dalam beragama tidak ada pemaksaan.
D. KESIMPULAN
Dari surah ini , kita sebagai orang beriman dpat
mengambil pelajaran, hendaknya setiap mu’min memiliki kepribadian yang teguh dan
kuat serta tidak tergoyahkan oleh apapun. Secara umum pada diri manusia
terdapat dua potensi sifat. Sifat yang pertama yaitu sifat yang mampu
mengararahka/mengajak pada kebaikan atau yang biasa disebut dengan nafsu
malaikat, sifat yang kedua yaitu sifat
yang mampu mengajak pada kejahatan/kemurkaan yang disebut nafsu setan. Apabila
manusia lebih memenangkan sifat malaikatnya, maka akan tampilah dia sebagai
pribadi yang baik dan kukuh sera penuh pendirian. Sebaliknya jika seseoorang
lebih memenangkan sifat kejahatan/setan,
dia akan tampil menjadi pribadi seperti setan yang indikatornya sifat
setan seperti kejam, takabur dan tidak
memiliki kepribadian yang kikih dan kuat.
E. REFERENSI
Mahmud Arif, Menyelam Makna Kewahyuan Kitab Suci ,Yogyakarta: Idea Press, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar